Rabu, 23 Februari 2011

MENYULAM BAYANG PEMBUNUH ABAH

Cerpen: D Kemalawati

                    Seperti rencanaku pagi tadi, sekarang akan kulepaskan bongkahan ini. Bongkahan yang kupanggul laksana setumpuk batu gunung telah membuatku semakin bungkuk dan terpuruk. Aku tak bisa tengadah menatap langit biru, tak juga bisa menghitung bintang besar diantara banyak bintang kecil di angkasa. Ingin sekali aku menatap bulan sabit lalu melukisnya menjadi senyum dan kukirim padamu. Tapi itu tak pernah kulakukan.

                    Hari ini Nyak Ti, setelah kulepaskan bongkahan ini, Kau akan lihat betapa tegak tubuhku. Betapa lurus pandanganku. Aku pasti siap mendaki bukit bahkan gunung yang menjulang di depan sana. Dan kepadamu Nyak Ti, akan kupersembahkan Siyungyung paling indah dan paling harum yang kupetik sendiri dari puncak manapun yang kamu inginkan.

                    Tapi Nyak Ti, sebelum Siyungyung itu ada di tanganmu, aku akan membuka tabir yang selama ini selalu ingin kau sibak. Tabir yang membuat diriku dan dirimu berjarak.
   
       Inilah aku, cucu si penabuh rapa’i. Setiap malam Jumat  bersama sejumlah orang berjubah,  kakekku menabuh  rapa’i di belantara sepi hingga menjelang pagi.  Punggung pegunungan  Bukit Barisan menjadi saksi. Suara rapa’inya menderu disela diam  dedaunan. Menderas di hening riak tertahan. Tak ada yang memberitahu aku kenapa kakek melakukan semua ini. Orang-orang selalu bangga menceritakan kehebatan kakekku. Kata mereka, di belantara mana kakek menabuh rapa’i, mereka akan tahu. Sebab dari sumber suara yang menggema itu akan muncul seutas cahaya terang menyulut angkasa.

                    Abahku ketika  muda gemar bermain domino. Dengan tubuh mungilnya , ia lberpencak silat  menangkis serangan lawan seindah tarian. Setelah berkhalwat di belantara hutan, ia menjadi lebih ringan.lagi Orang-orang melihat ia berdiri di atas daun pisang yang membentang , di ujung dahan pohon yang masih tegak menjulang. Dia mampu melompati penghalang di batas pandang setelah rateb menetap di dalam badan.

                   Tapi Abahku tak bisa menghilang. Ketika puluhan pengikutnya turun kampung mengibar bendera perang. Dengan puluhan benda tajam sebagai peringatan. Judi, maksiat coba dihalang. Mereka yang menggunakan jubah putih tak dapat melangkah tenang. Di ujung jalan mereka di hadang. Lalu diberkas seperti binatang. Dan Abah pun datang menghantar badan agar negeri kembali tenang.

                 Nyak Ti, ketika kicau burung terdengar riang, langit pagi indah dihias awan. Umiku memandang tubuh merahku sendirian. Abah dalam tahanan dengan tuduhan tak dilakukan. Dia tak pernah menanam daun hiduan. Tak juga menyihir orang yang mau menempuh jalan ketauhidan. Tapi di balik bukit yang lebat dedaunan, tumbuhan itu subur membentang. Menghijau pandang dengan penanam. Tapi tarikat abahku selalu jadi sasaran, sebagai jalan sesat yang patut dibuang.

                    Akan kuceritakan tentang umiku, Nyak Ti. Perempuan berhati peri itu membesarkan aku seorang diri. Aku mendengar suaranya melantunkan ayat suci dengan indah sekali. Tetapi ketika membuaiku dalam ayunan, Umi seperti seorang penyair yang tak pernah kehabisan kata-kata. Dan kata-kata itulah yang melekat di sanubariku hingga kini.

                    Aku yakin ibumu tak pernah bersyair seperti umiku. Ibu-ibu di kota lebih cenderung membiasakan anaknya berbicara bahasa Indonesia. Dan ketika membuai anaknya paling hanya kalimat ‘nina bobo o nina bobo, kalau tidak bobo digigit nyamuk’ diulang berkali. Coba kamu simak syair dari umiku, ‘Allah hai do do da idang/ seulayang blang ka putôh talôe/beurejang rayeûk muda seûdang/tajak banthu prang ta bela nanggroé./ wahe aneûk bek tak duék le/beudôh sare ta bela bangsa/ bek ta takôt keû darah ilee/adak pih mate tamoûng syurûga Kamu pasti tak tahu artinya. Baiklah, aku tak mau meledekmu lagi. Kupikir lumrah saja meski namamu Nyak Ti, tapi kamu tak lahir dan besar disini. Aku akan terjemahkan untukmu, Allah hai do do da idang/Layang-layang sawah sudah putus tali/Cepatlah besar jadi remaja/Pergi berperang membela negeri /Wahai anak jangan duduk lagi/Bangun bersama membela bangsa/Jangan takut darah mengalir/Bila pun mati masuk syurga .

                   Ada banyak lagi syair-syairnya yang mengalir begitu saja meski aku sudah terlelap. Umiku tak pernah membaca bagaimana seharusnya prilaku ibu hamil dari majalah atau buku-buku petunjuk lainnya, sebagaimana ibu-ibu di kota mempersiapkan kelahiran anaknya. Ia hanya tahu meski aku masih dalam kandungannya, ataupun ketika aku terlelap, aku tetap mendengar apa yang dia dendangkan, aku tetap melihat apa yang dia kerjakan. Dia menjaga prilakunya, menjaga suaranya. Ia yakin dengan demikian aku akan tumbuh sebagai anak yang kuat, tegar dan dipenuhi cahaya iman.

                   Sebagai anak gunung, aku terbiasa mendaki dan turun lembah. Meski usiaku masih balita, aku pernah ikut Umi berjalan kaki turun gunung seharian lamanya menuju pusat kecamatan. Ketika harus melintasi jembatan gantung, satu-satu cara agar kami sampai ke seberang, Umi menggendongku dengan kain panjang. Di bawah sana kulihat air bening melintas deras di sela bebatuan yang muncul ke permukaan. Aku merasa sesak nafas, bukan karena takut, tapi karena kuatnya ikatan kain gendongan umi. Sebelah tangan umi memegang tali gantungan, sebelah lagi memastikan aku aman di gendongan. Kakinya terlalu hati-hati melintasi tali yang satu lagi hingga membawa tubuh kami berdua sampai ke seberang, dan aku dapat melompat kembali dengan langkah kecilku menyusuri jalan setapak.

                  Aku tak pernah bertemu Abah hingga usiaku genap lima tahun. selama Abah ditahan Umi hanya sekali menjenguknya dan tak membawaku serta. Terlalu jauh, kata Umi. Selain harus berjalan kaki seharian ke pusat kecamatan, Umi harus menunggu angkutan yang membawanya dari Ulee Jalan ke kecamatan berikutnya. Dengan dua kali pergantian bus dan melintasi lima kabupaten kota, Umi akan tiba di tahanan dua belas jam kemudian.

                 Ketika Abah kembali ke desa, kami semua bahagia. Santri-santri Abah kembali berdatangan. Suara pengajian kembali menggema. Bila malam tiba, Zikir dan dalail mengalahkan dengung binatang hutan. Dan ketika fajar mulai menyingsing, semua santri serta penduduk meninggalkan dusun menuju ladang. Nilam, kembali merambat. Padi ladang kembali tegak menyongsong butir-butirnya. Ikan keuréuling kembali menyentuh ujung pancing. Udang dan Belut sengaja masuk bubé. Dan aku bebas menangkap belalang hingga lelah menjelang.

                  Nyak Ti, masihkah kamu mendengarkan aku?

                 Lima bulan lamanya, senda gurau terdengar dimana-mana. Debat perkara tasawuf semakin merdeka. Hingga jumat itu tiba. Jumat yang membuat aku seakan gila. Aku sedang bermain di halaman rumah. Umi di tangga mengawasiku. Tiga orang santri lelaki sedang membersihkan balé-balé. Para santri selalu bergilir mengerjakannya sebelum waktu shalat Jumat tiba. Yang lain berada di bilik masing-masing dan ada pula yang sedang mandi di sungai di bawah sana.

                   Tiba-tiba aku mendengar seseorang berteriak, bertanya.

                   “Mana teungku Banta? Ayo tunjukkan wajahmu.”

                  Di hadapanku telah berdiri puluhan orang berpakaian loreng dengan muka penuh corengan. Mereka menggunakan topi baja yang ditumbuhi dedaunan. Semua menggunakan senjata. ( ketika aku dewasa, aku baru tahu senjata jenis apa yang dipanggul mereka). aku berlari ketakutan. Kupeluk ibu yang gemetar. Abah turun dari dalam rumah. Tenang.

                   “Kemari kau Teungku sialan.” Teriak yang lainnya. “Semua kumpul, berbaris. Tak ada satu pun yang boleh menjauh. Ini perintah.” Suara itu mengguntur. Kudengar suara berderak , pintu bilik disepak. Para santri yang tak seberapa berhamburan keluar.

                    “Mana Senjata kalian pemberontak jahanan, ayo tunjukkan. Jangan coba menipu kami.” Kuyakin itu pimpinan mereka. Tapi aku terlalu takut memandang wajahnya.

                    “Hana, pak Komandan, kamoé hana menyimpan senjata.” Kudengar suara Abah masih tenang.
           
                    “Bohong! kalian menanam pohon keparat itu untuk modal membeli senjata, bukan?” Serang Komandan.

                     “Nilam, sudah sejak dulu kami tanam Komandan.”

                     “Bukan nilam, bodoh! Kalian tanam di sela kopi, kalian bakar hutan untuk yang lebih banyak.”

                     “Tidak Komandan, kami hanya menanam padi ladang.”

                     “Bohong, mana HT-mu?” hardik Komandan. Lalu berpaling ke samping Abah, “ ayo kamu,” tunjuk komandan dengan senapan, tepat di wajah abang tertuaku, “ambil antene itu.” perintahnya sambil tangannya mengarah sebuah antene yang terpasang di anjungan rumah kami.

                     “Kamoé hana muphom, hana meutéupeu HT.” sungguh Abah tak mengerti, ia tak mengetahui apa itu HT.

                      Komandan merasa dipermainkan.

                      Seorang prajurit menendang Umar, abangku. Aku menjerit ketakutan, tangisku pecah. Umi merangkulku lebih kencang. Tiba-tiba prajurit lain memukuli Umar dengan popor senjata. Abah maju berusaha menghalang.

                       “Berhenti, jangan sakiti anakku…. Kami tak mengerti tuduhan kalian.”
Kulihat seseorang menarik kerah baju Abah, membawanya ke tengah-tengah. Abah berseru “ Allahu Akbar…Allahu Akbar.”

                        Dan door…. Tubuh Abah tersungkur.

                        Lalu suara letusan seperti deru hujan dibawa badai. Menderas di angkasa. Serentak semua tiarap… lalu senyap. Melihat Abah bergelimang darah, perutnya terburai hancur, Umar bangkit, maju selangkah.

                        “Apa salah Ayahku… baru lima bulan kalian kembalikan, apa yang dilakukan hingga kalian tega menghabisinya?” Suara Umar terdengar lantang.

                        “Seperti kesalahanmu, menampung pengacau liar itu dan memodali mereka membeli senjata.”

                          “Kalian salah, ini fitnah…fitnah…”

                          “Diaaam! ”Bentak Komandan.”Semua bangkit, buka pakaian kalian.”
Tak ada yang bergerak.

                         “Sekali lagi buka baju kalian, bagaimana kalian lahir telanjang, mati pun kalian telanjang.”

                         Tak ada suara. Tak ada pilihan. Dalam gemeratuk gigil ketakutan, satu persatu pembungkus lusuh badan melayang, jatuh ke tanah. Para perempuan yang hitung jari jumlahnya memaling muka. Semua pasi. Diam seribu bahasa.

                        “Baiklah, tubuh kalian tak berarti, silakan tinggalkan tempat ini.” Perintah Komandan.

                          Semua mata tertuju ke tubuh Abah yang memerah darah.

                          “Pergi!… Hardik Komandan. “Sebelum pikiranku berubah.” Lanjutnya.

                          “Ini kampung kami, kalian yang harus pergi. Pergilah, Abah sudah tak ada. Setelah shalat Juma’t nanti kami akan menguburkannya.” Terdengar suara Umar memohon.

                          “Ha ha ha… bersamamu dan lainnya, satu lubang ha ha ha…” lalu serentak mereka menarik pelatuk, berkali-kali, hingga tak ada lagi yang muntah dari lambung senapan. Bau mesiu dan amis darah menyebar kemana-mana.

                           Nyak Ti, apa yang akan kamu lakukan seandainya kamu bersamaku saat itu. Melihat abah, abang dan puluhan lainnya yang semua menyayangimu terkapar berlumuran darah. Aku meronta dari pelukan Umi, Nyak Ti. Melepaskan diri, berlari mencari tubuh Abah diantara gelimangan tubuh lainnya yang masih merintih menahan perih. Mereka sekarat Nyak Ti. Sekarat… tapi masih kudengar mereka menyebut Allah, Allahu Akbar laa ilaaha illallah…

                            “Abah bangun.” Teriakku. Beberapa prajurit serempak menarikku.

                            “Sudahlah Komandan. Abah dan abangnya serta yang lainnya sudah kalian bunuh. Biarkan anak bungsuku yang masih kecil ini hidup bersamaku.”Getir suara umi.

                           Aku memang masih hidup Nyak Ti. Hidup dalam selimut yang dipenuhi bayang orang-orang berseragam, wajah-wajah beringas dipenuhi corengan, dengan senjata siap kokang mengarah ke mukaku. Hari-hariku selanjutnya adalah menyulam bayang. Bayang pembunuh Abah dan abang. Kurenda mimpi di tengah simpul kebencian. Kujahit harapan agar kelak dendam terbalaskan.

                           Nyak Ti, kutahu kamu pasti akan terkejut mendengar semua ini. Aku yang kamu lihat sehari-hari datang ke sekolah mengenderai motor besar. Memiliki laptop tercanggih yang tak dimiliki pak Hanif, guru yang mengajari kita membuat jaringan computer. Bahkan ketika hari-hari tertentu bisa saja mengajakmu makan di restoran terbagus di kota ini, dengan mengendarai X- Trail metalik keluaran terakhir, adalah seorang anak gunung yang terkepung dendam masa lalu.

                         Aku dipungut oleh pak Manaf menjadi anaknya. Semua itu terjadi begitu saja. Beberapa malam setelah orang-orang dari kota yang terlihat sangat membela kami menguburkan kembali jasad Abah dan yang lainnya, aku mendengar suara rapa’i seperti menendang-nendang gendang telingaku. Aku tak bisa tidur. Suara itu terdengar sangat dekat. Lalu aku keluar dari bilikku, membuka pintu tanpa berisik menuju halaman. Di kejauhan aku melihat seberkas cahaya benderang. Aku berlari mencari sumber cahaya itu. Tubuhku serasa melayang hingga aku berhenti tak jauh dari kumpulan orang-orang berjubah putih, yang sedang berzikir sambil menabuh rapa’i. Aku dijemput ke tengah, diantara penabuh yang terlihat tak terpengaruh dengan kehadiranku. Seorang lelaki tua yang dari tubuhnya memancarkan cahaya membimbingku duduk di hadapannya. Aku larut dalam zikir dan syair-syair lainnya yang kemudian kuulang berkali. (syair itu yang kemudian kutahu telah membuat Abah kebal, sehingga ketika membunuh Abah, mereka menggunakan GLM, bukan timah panas dari senapan biasa).

                     Saking larutnya, aku tak tahu kalau pagi sudah menjelang. Aku mendapati diriku sendirian tertidur di tumpukan kayu bakar yang mungkin dikumpulkan para santri beberapa waktu lalu. Sinar matahari muncul di sela-sela daun yang rimbun menyilaukan mataku. Aku ingat Umi, pasti sejak subuh tadi beliau kehilangan aku. Semalam aku seperti ringan saja melangkah, dan sekarang kucoba menyusuri jalan setapak berkelok-kelok yang rasanya belum pernah kulewati. Di sanalah, disela-sela jalan yang menurun itu aku bertemu pak Manaf dan 4 orang anak buahnya terkapar. Mereka seperti baru berperang dan tersesat. Aku terperangah melihat luka mereka. Tanpa sadar tanganku kuletakkan di atas luka yang membiru dari salah seorang yang terkapar itu. Tiba-tiba dari dalam sana sebutir peluru menyembul ke permukaan. Aku mengulangnya kepada yang lain, hingga seluruhnya terkumpul delapan butir peluru. Lalu, entah dorongan dari mana, aku memetik pucuk-pucuk daun di sekitar kami, mengunyahnya lalu menyemburkan ke lubang-lubang yang mengeluarkan darah itu. Luka itu mengering. Kudengar mereka meringis bersamaan dengan kudengar suara Umi dan Po Mani berteriak-teriak memanggil namaku.

                      Nyak Ti, atas semua kejadian tak terduga itu, Pak Manaf memohon sambil bersujud di kaki Umi agar mengizinkan ia mengangkat aku sebagai anaknya. Ia berjanji akan menyekolahkan aku hingga kemana aku mau.

                       Aku memang telah jadi anaknya seperti yang kalian yakini. Lelaki yang kutemukan sekarat itu ternyata adalah seorang panglima. Panglima bagi mereka yang sedang berjuang mencari keadilan, entah juga kemerdekaan. Yang jelas sebagai panglima, ia sangat bersimpati dan mengagumi kesalehan Abah.

                       Terlalu panjang Nyak Ti, kalau aku menguraikan bagaimana aku tiba di kota ini, menyesuiakan diri dengan kehidupan keluarga Pak Manaf yang terus berpindah-pindah. Bagaimana syair Umi terus bergelora ketika kudengar kontak senjata dimana-mana. Bagaimana aku kemudian lepas dari gulungan air tsunami dan lainnya. Dan bagaimana kemudian Pak Manaf berubah posisi dari target operasi menjadi teman diskusi petinggi negeri. Serta bagaimana kita bertemu dan saling suka.

                        Aku menyukaimu Nyak Ti, sungguh aku tak bisa melupakanmu sesaat saja. Tetapi melihat foto keluarga yang menggantung di ruang tamu rumahmu, melihat ayahmu berseragam hijau dengan bintang di dada, memandang wajahnya lama-lama, aku seperti membuka peti yang menyimpan sulaman bayang itu. Bayang pembunuh Abah dan abangku. Jarum rajutku kembali merenda benci. Dan selama berteman denganmu, sebenarnya aku sedang menjahit dendam, membunuh ayahmu.

Banda Aceh, 20 Juni 2010

Catatan:
Siyungyung : Anggrek hutan yang indah dan harum.
Rapa’i : Gendang yang digunakan mengiringi para pedebus.
Rateb : Ratib
Ikan Keuréuling : Ikan yang sisiknya bisa digoreng seperti kerupuk, hidup di aliran sungai yan g berbatu.
Bubé : Alat tangkap ikan dari bambu
Balé-balé : Balai yang digunakan sebagai tempat pengajian sekaligus tempat shalat berjamaah
Hana muphom : Tidak mengerti
Hana meutepeu : Tidak mengetahui
Kamoé : Kami


Tidak ada komentar:

Posting Komentar