Rabu, 23 Februari 2011

MALAM LEBARAN

Cerpen D Kemalawati

                  Gerimis belum berhenti. Malam telah pekat hitamnya. Tanpa cahaya bulan ia menapakkan kakinya di atas pematang. Sesekali ia tergelincir. Dalam gelap sulit membedakan tanah liat dan rumput basah. Ketika siulan kecil mengganggu pendengarannya, ia tak berpaling. Langkahnya diayun lebih cepat .
                    Dari pematang yang luas, ia memasuki belukar setinggi ukuran badannya. Siulan itu berubah menjadi lenguh. Ia sedikit tertegun sambari memperlambat langkah.
                   “Jangan pergi Din. Kita bisa merayakan bersama-sama tanpa harus meninggalkan tempat ini.” Suara terengah sangat memohon itu mengusik pikirannya. Din berbalik, tapi tetap menjaga jarak.
                    “Tidak Sam. Jangan paksa aku tetap di sini sementara ingatanku telah di sana.”
                    “Bahaya Din, semua jalan menuju ke sana telah di jaga.”
                    “Aku tahu cara mengatasinya, kalau kau keberatan tinggal saja di sini. Jangan paksa aku melupakan malam ini dan esok pagi. Aku pasti kembali.”
Din menghela nafas.
“Esok pagi setelah mencium tangan Mak dan memohon maaf atas semua salahku, aku akan menemuimu di sini.”
                    “Tapi ini konyol, Din! Kita akan sia-sia. Tekad kita sudah bulat. Kenapa tiba-tiba kau berubah seperti ini?”
                    “Sudahlah. Lupakan semua tekad itu. Aku akan segera tiba di sana.”
                    Din kemudian berpaling, lalu melangkah cepat.
                    Sam paham betul keteguhan hati Din. Dan dia tak perlu berpikir lagi.
                    “Tunggu aku, aku akan ikut denganmu.”
                    Tanpa berkata lagi keduanya beriringan menembus rintik hujan.
                    Malam baru sepertiga merangkak menuju pagi. Suara jangkrik diantara desau angin mengiringi langkah mereka. Tanpa meninggalkan suara berisik mereka melintasi sungai kecil berbatu menuju seberang. Jalan pintas tak biasa dilalui penduduk adalah pilihan mereka. Meski terkadang jarak yang dituju menjadi lebih jauh.
                     Sayup-sayup suara takbir terdengar syahdu tertiup angin. Malam pekat dan gerimis menggiring bathin Din dalam kepungan rindu.
Serasa tubuhnya sedang berada dalam truk besar bersama teman sekampung. Sebuah beduk kecil sedang dipukul sesuai dengan irama dan teman sebaya mengalunkan takbir tak henti-henti. Takbir dan kelakar riuh rendah dalam goyangan truk ketika melewati jalan berlobang.
                     Sepanjang jalan yang dilewati truk, anak-anak kecil, remaja putra-putri dan orang tua turut bersuka. Rumah-rumah dihiasi lilin-lilin kecil berkedip-kedip dipagar kayu ditiup angin. Kadang anak-anak yang jahil melempar mercon ke arah iring-iringan truk sambil bersorak kegirangan. Mereka juga menyangkutkan kembang api di dahan-dahan pohon, diantara dedaunan untuk dibakar. Ketika percikan bunga api memancar cahaya kemilau mereka bersorak bersama.
                    Kebiasaan takbir keliling kampung dengan truk memang telah dilakoni masyarakat desa sejak lama. Setiap malam lebaran, setelah shalat isya para pemuda berkumpul di halaman masjid desa, menunggu angkutan. Suasana gembira sangat terasa. Kadang sambil dorong-dorongan mereka berebutan menaiki truk. Berbagai alat-alat musik yang ada di sekitarnya turut serta bersama mereka. Ada yang membawa beduk, kaleng bekas, sendok, dan piring ‘kenso’ alias piring kaleng. Mereka tabu tanpa aturan meningkahi suara takbir yang bergemuruh sehingga suasana menjadi sangat meriah.
                    Dari masjid desa mereka berkumpul ke pusat kecamatan. Mereka membentuk iring-iringan panjang yang dimulai oleh pemuka masyarakat, tokoh-tokoh adat yang memiliki mobil pribadi dan dinas, lalu diikuti truk-truk dari desa -desa.
                    Semua mobil dipadati penumpang dengan alunan takbir bersahut-sahutan. Acara takbiran keliling itu biasanya terakhir menjelang tengah malam. Malam yang seharusnya merupakan malam kemenangan bagi mereka yang menjalankan ibadah puasa menjadi malam penuh kenangan bagi semua warga desa.
                     Ingatan Din terkepung takbiran. Langkahnya makin panjang. Sam dengan terengah berusaha mengikutinya. Tapi dengan badan lunglai dan lutut yang gemetaran menahan lapar, ia makin jauh tertinggal.
                     “Din… tunggu aku!” Seru Sam dengan suara lirih.
                       Din tak bergeming, langkahnya makin panjang.
                      Jalan desa sudah dimasuki. Gema takbir semakin menusuk ke hulu hati, menjalar melintasi seluruh bilik jantung lalu merangkak cepat menuju pikirannya. Tak ada strategi bersemayam di sana. Allahu Akbar Allahu Akbar Walillahilham.
                       Din lupa siapa dirinya kini. Dia terus melangkah dengan kepungan rindu. Dia tidak datang mengendap-endap sambil mengawasi kiri-kanan lalu bergegas menerobos pintu belakang. Kali ini kakinya ringan saja melangkah. Telapak kaki yang dibalut kaus usang terasa hangat menopang tubuhnya. Bayangan tubuh kurus yang terbungkuk membungkus ‘timphan serikaya’, aroma 'sie reubouh' dari belanga di atas tungku kayu dan gurihnya 'leumang' di dalam buluh mempercepat langkah kakinya.
                       Seperti tiba-tiba, dia sudah berdiri di depan pintu rumahnya. Hanya sempat dua kali ia mengetuk papan rapuh itu. Pada hitungan ketiga sebuah timah panas telah menghantam tubuhnya, tepat di dadanya.
                   Ketika pintu terbuka, tubuh Din terkulai sujud di kaki ibunya.
                  Takbir bergemuruh di dada ibunda Din. Tubuh lunglai bersimbah darah dipeluknya erat-erat. Tak ada jerit panjang membawa pesan kepiluan.
                   Tubuh renta itu membelai wajah putranya. Tetes demi tetes air bening mengalir disekanya dengan ujung selendang yang melilit kepalanya. Ia sangat hati-hati menjaga agar tubuh anaknya tak tersentuh airmata.
                   Sam yang tertinggal jauh hanya mengusap dada mendengar letusan itu. lama ia tiarap membiarkan genderang hatinya bertalu di tanah basah. Gerimis menyatu dengan keringat dingin, mengigilkan tubuh kurusnya yang hampa.
                  Haruskah aku menyerah, gelisah Sam. Akankah Din rela melihat aku terkurung tanpa melakukan sesuatu. Sam menelentangkan tubuhnya ke langit malam. Gerimis telah berlalu. Tak ada cahaya menerangi tubuh Sam. Hatinya dipenuhi kegelapan. Ia terkulai di persimpangan.
                   Dulu sam pernah ingin mengakhiri hidup ketika kekasih yang sangat dicintai digagahi di depan matanya. Peristiwa yang terjadi setahun yang lalu, ketika mereka berdua baru saja berlebaran ke rumah orangtua Din. Ketika melintasi perkebunan,mereka dihadang sekelompok orang bersenjata. Lalu mereka dipaksa berjalan melintasi jalan setapak hingga sesayup mata memandang hanya barisan pohon yang menyilang dengan jurainya hanya menyisakan helai-helai cahaya terang. Sam diikat dengan tali disalah satu pohon dengan mulut disumbat kain.
                  Dengan murka ia menyaksikan Dara digilir satu persatu hingga terkulai tak berdaya. Sam tidak pernah tahu kapan Dara menghembuskan nafas terakhir. Yang ia tahu seluruh tubuh Dara membiru berlukiskan lars. Kata penduduk yang menemukan mereka ketika itu, darah tidak hanya mengucur di selangkangan Dara tapi juga di dadanya. Ada yang menghadiahkan peluru sebelum meninggalkannya begitu saja.
                  Sam menjadi pemuda patah arang. Dua tragedi besar melanda jiwanya. Rumah orangtuanya yang berdampingan dengan sekolah dasar, hangus dibakar. Ayahnya yang tergeletak karena lumpuh ikut menjadi abu. Sedangkan ibunya telah lama tiada. Dalam keputus-asaan itulah Sam dan Din bergabung.
                  Sam dan Din adalah dua sahabat yang terkepung dendam. Mereka terbuai pesan bersambung yang memanfaatkan situasi serba salah. Mereka mengetahui kalau Din bukan pemuda biasa. Dia cerdas. Dan setelah bergabung siasat yang disusunnya menjadi penentu keberhasilan kelompoknya. Din terkenal garang dalam berperang. Tapi Din selalu rindu pulang saat malam lebaran seperti malam ini.
                   Keinginan Sam untuk mengakhiri hidup, kini muncul kembali. Wajah Dara yang memelas ketika digagahi, wajah legam sang ayah dalam tidur panjang yang mengenaskan, wajah Din yang selalu rindu membasahi tubuhnya dengan air sembahyang, silih berganti hadir.
                   Takbir masih bergema memenuhi angkasa. Wajah Sam yang tengadah menemukan sinar kemilau.    Bagai kembang api berlaksa cahayanya. Sam bangkit . Dengan langkah tertatih dan hati merintih Sam kembali menyelusuri semak berlukar. Makin jauh langkahnya, belukar makin membenam tubuhnya.
                     Ia telah memilih belantara tempat merayakan hari kemenangannya.

Banda Aceh, Desember 2003


Tidak ada komentar:

Posting Komentar