Rabu, 22 Juni 2011

KEMBANG-KEMBANG LILA DI TEPI KOLAM


Cerpen D Kemalawati
Kolam ikan berlumut di depan rumah pagi ini dipenuhi air. Semalam hujan deras. Di sudut kiri halaman , Kemboja merah terlihat  segar. Beberapa tangkai bunganya mengembang sempurna. Di samping kanannya, bunga-bunga berbentuk terompet  berwarna lila tua juga merekah diantara  cabang-cabang  kurus coklat kehitaman. Cabang-cabang beruas itu   kelihatan mengangkang dengan daun-daun hijau runcing memanjang, dibalut butiran tanah basah .
Di dekat kolam, dahan Bogenvil yang dipenuhi bunga berwarna lila muda, dan beberapa helai daun  terlihat merunduk. Di sela Bogenvil  yang tumbuh subur karena akarnya kurasa  menghisap air kolam berlumut itu,  juga menjuntai beberapa tangkai bunga Anggrek. Ada dua jenis  Anggrek yang tumbuh di sana. Kedua-duanya sedang berbunga.  Dan bunga itu juga berwarna Lila.
Diantara kolam dan teras yang luasnya tak lebih tigapuluh sentimeter , bunga-bunga terompet yang lebih kecil dengan daun  bersusun  rapat merimbun menutupi tanah. Ukuran pohonnya yang hanya sejengkal dari tanah  itu seolah-olah bagian dari lantai teras yang bersambung dengan batu-batu gunung yang sengaja dibentuk senyawa dengan kolam. Dulu, kolam itu begitu terawat. Ikan-ikan berkejaran dengan riang di antara  air mancur yang seperti gerimis hujan  di tengah kolam. Aku baru sadar kalau bunga-bunga berbentuk terompet di sekitar kolam kecil itu juga berwarna Lila. Apakah aku harus menyebut bunga terompet mini kepada bunga lila yang mekar di tepi kolam? Ah,  aku tak mengenal  jenis, nama serta tabiat bunga itu dengan baik. Dan ternyata juga selama ini, aku luput mengenali bunga-bunga dan pohon-pohon yang tumbuh di halaman rumahku sendiri. 
Tapi pagi ini, perhatianku jatuh pada Bogenvil lila yang  merunduk itu. Mungkin hujan deras semalam masih menyisakan beban air di kelopak sesaknya. Aku jadi ingat mama. Mama suka memotret kembang-kembang  yang baru disiramnya di halaman. Ini bunga-bunga di halaman kita, Pa. Kata mama suatu pagi. Di layar hape mama terlihat tiga kembang Kemboja  merah  kesumba. Dua tangkai berpilin di atasnya dan beberapa daun hijau kuat sungguh membuat foto tersebut kelihatan sangat indah dan artistic. Papa memperhatikan gambar itu  dan mengatakan kalau kamera di hape mama lumayan bagus. Jelas terlihat bening air  membekas di helai-helai kelopak yang berjumlah lima.  Pasti tak ada yang ada yang menduga foto itu hasil bidikan Mama. Komentar Papa membuat senyum  Mama mengembang lama. Tak ada  senyum  mengembang  di wajahmu tadi, saat aku menyalaminya. Sungguh sangat tak nyaman melihatmu  kusut sepagi ini.
Seandainya aku memiliki mesin waktu seperti yang kubaca di buku-buku cerita dan kutonton di film-film di layar telivisi, aku akan kembali ke kemarin pagi. Akan kutulis namaku di kanan atas lembar folio yang berisi cerpen karyaku. Lalu mengumpulkan  ke salah satu juri , memeriksanya apakah aku menyatukannya dengan cover  yang  telah kusiapkan sebelumnya. Akan kupastikan ketika juri tersebut mengambil karyaku, covernya ikut  yang bertuliskan nama dan asal sekolahku terbawa serta. Aku ingin menjadi juara pertama  menulis cerita. Tujuanku satu,  mewakili kota ke tingkat propinsi. 
Setahun yang lalu aku kalah bersaing dengan juara satu.  Menurut juri yang memberitahu pendampingku, tulisanku kurang rapi,  ada beberapa coretan. Aku sudah melatih diri untuk menulis lebih rapi, mengurangi bahkan berusaha tanpa coretan sama sekali. Aku makin rajin membaca  kumpulan cerpen baik yang ditulis oleh cerpenis negeri sendiri atau terjemahan. Ada beberapa cerpen dalam antologi cerpen pemenang Nobel yang sering kubaca-baca ulang. Aku juga mencari muatan local yang mungkin bisa kumasukkan dalam cerpenku seperti kebiasaan orang-orang memasak  Sie Reuboh di hari menjelang bulan Ramadhan. Menurut guru pembimbingku dengan memasukkan muatan local dalam cerita  akan  membuat karyaku menjadi lebih berbobot.
Dalam menulis aku sama sekali tak dibimbing Mama. Padahal Mama sering diundang mengisi workshop menulis cerpen di beberapa lembaga juga di Balai Bahasa kotaku. Mamaku seorang Sastrawan  dan sering menjadi juri. Tapi aku tak ingin menjadi fotokopi Mama dalam berkarya. Aku juga tak pernah meminta Mama menilai karyaku. Aku harus jadi diriku sendiri.
Ketika aku hanya memperoleh juara dua, dan tak berhak mewakili kota banda Aceh tahun lalu, Mama mengatakan  menjadi juara 2  juga sudah bagus. Sudah membuktikan bahwa aku memang berbakat.  Karena menurut Mama  menilai  karya sastra tidak sama dengan menilai matematika. Menilai karya sastra adalah menilai dengan rasa sedang menilai matematika menggunakan rumus dan logika, hanya ada benar dan salah. 
Mengenai rasa tentu tak lepas dari selera dan masih menurut Mama tak selamanya juri yang ditunjuk untuk menilai karya sastra, adalah orang-orang  yang  memiliki selera  bagus dalam bersastra.  Mereka mengikuti perkembangan sastra,   memiliki karya yang bisa kita ukur,  pernah menulis  esei sastra,  mengulas karya sastra apalagi kalau mampu menulis kritik sastra.
Waktu itu aku tak kecewa. Aku masih punya harapan untuk tahun ini. Mama juga tak mempermasalahkan  kenapa juri lebih mementingkan  tulisan rapi dari pada karya yang bagus. Aku melihat mata  Mama berbinar indah saat itu. Senyumnya mengembang. Dan aku yakin  telah membuat Mama bahagia dengan keberhasilanku meski hanya  juara dua.
Mama juga menyambut kepulanganku dengan mata berbinar dan senyum bahagia,  setelah Papa yang menjemputku dari hotel tempat dimana kami berlomba  mengabarkan aku juara tiga Duta Sanitasi. Mama mengucapkan selamat dan memelukku bahagia.
“Sudah terbukti anak kita tidak hanya mampu menulis fiksi tapi juga non fiksi.”
“Sebenarnya anak kita juara dua, Ma. Tapi menurut pembimbingnya, ada juri keberatan  kalau yang akan dikirim ke Jakarta mewakili Aceh dua-duanya dari sekolah mereka. Maka anak kita dikorbankan.”    
“Belum langkah anak kita, Pa. Suatu saat ia akan sampai juga ke sana. Dulu mama juga selalu menjadi korban. Kita ambil hikmahnya saja.”
Aku mendengar percakapan Mama dan Papa dari dalam kamar. Kenapa Mama bisa menerima begitu saja kalau beliau selalu dikorbankan. Pernahkah Mama protes ketika Mama tahu dirinya dizalimi. Kenapa juri yang melibatkan imajinasi tidak sama cara menilainya dengan juri yang melibatkan angka. Kenapa harus ada pertimbangan tak enak kalau harus mengirimkan dua peserta dari sekolah yang sama. Duh, Mama. Andai Mama bisa merasakan apa yang aku rasakan saat itu. Andai Mama tahu bagaimana aku berupaya mencari bahan tulisanku berhari-hari, berminggu-minggu lamanya sejak guru pembimbingku mengirim namaku sebagai peserta. Tidak ingatkah Mama ketika dalam keadaan sangat lelah dirimu terpaksa menyetir mobil mengantarkanku ke pustaka wilayah untuk mencari bahan-bahan bacaan yang berhubungan dengan sanitasi. Mama, kenapa hal yang pernah menimpamu kini kurasakan pahitnya. Apakah karena Mama sering menjadi juri, Mama tak perlu mendengar kabar-kabar miring penyebab kekalahan anaknya.
Mama baru percaya kalau aku telah dikorbankan setelah bertemu dengan salah seorang juri Duta Sanitasi beberapa bulan kemudian. Ternyata Mama kenal dengan juri tersebut dan dalam perbincangan singkat tanpa sengaja Mama bercerita kalau anak-anaknya juga sudah mulai kelihatan bakat menulisnya. Mama mengatakan bahwa selain menulis fiksi, aku anaknya juga telah membuktikan mampu menulis artikel dengan memperoleh juara tiga Duta Sanitasi. Teman Mama itu terlihat kaget ketika Mama mengatakan apa yang dikatakan pembimbingku bahwa semestinya aku juara dua.
“Benar Kak,” kata Juri yang Mama sebut bernama Arum. “Menurut  saya dan hasil rekap penilaian semua juri,  juara satu dan dua itu dari sekolah yang sama. Dan karya mereka berdua benar-benar bagus. Tapi karena akan dikirim mewakili daerah, maka ada seorang juri yang lebih senior  bersikeras tidak boleh kedua-duanya dikirim dari sekolah yang sama. Saya sama sekali tidak tahu kalau yang akhirnya juara tiga itu adalah anak kakak. Selaku juri, saya sudah berkeras mempertahankan haknya sebagai juara dua. Saya tak bisa berbuat banyak karena yang lain tak bersuara meski sesuai nilai, anak kakak berhak mewakili daerah.”
Mama menceritakan apa yang didengar dari temannya itu padaku dan juga kepada Papa. Tak ada kemarahan dalam nada ceritanya. Semua sudah terjadi, kata Mama.
Mama bukan tak percaya apa kata guru pembimbingku. Menurutnya memang tak pernah ada criteria penilaian seperti itu. Dan bisa saja itu analisa pembimbingku karena beliau memang yakin karyaku bagus. Tapi Mama, bukankah asap itu ada kalau ada api. Dan  kebenaran itu telah terungkap,  meski tak akan merubah apa yang telah menjadi keputusan.
Sebenarnya mudah saja Mama melacak siapa juri yang menilai aku dalam setiap perlombaan. Tapi Mama tidak pernah melakukannya. Mama malah tak pernah mengantarku ikut lomba. Mama tak ingin kehadirannya mempengaruhi penilaian terhadap karya anaknya.
                Aku memandang air kolam yang kelihatan lebih bersih dari biasa. Hujan yang mengguyur deras tadi malam telah membuat air kolam yang  keruh, melimpah menyusup sela-sela batu kecil menggenangi halaman. Aku mencari-cari ikan sapu-sapu yang biasanya menempel di dasar kolam. Tidak ada. Mungkin sedang bersembunyi kekenyangan di lekukan-lekukan batu yang sengaja dibentuk seperti rongga-rongga dalam goa.  
                Matahari belum kelihatan. Tapi langit berwarna terang. Tak ada mendung bergayut. Awan putih serupa asap tipis samar-samar melayang jauh. Aku harus segera berangkat. Ujian semester memang sudah selesai. Aku harus memastikan apakah semua mata pelajaranku tuntas, tak ada remedial. Ada yang lebih utama selain kekalahanku dalam lomba menulis cerpen kemarin. Aku tak boleh mengecewakan Mama dan Papa dengan nilai-nilai raporku sehingga rangkingku jauh terpuruk.
                Menjelang siang sms dari Mama masuk ke inbox hapeku. Mama memberiku alamat sebuah media online untuk kubuka di internet. Aku tak membalas Mama. Aku masih menyesali  kenapa lupa menulis nama di lembar karyaku. kenapa aku tak berfikir meski sudah membuat cover dan memasukkan karyaku ke dalamnya supaya tak tercecer, aku tetap harus menulis namaku di kanan atas halaman pertama. Aku benar-benar tak mau membaca apapun saat ini. Pertengkaran Mama dan Papa menjelang dini hari tadi  mengganggu pikiranku. Mama  menyesalkan sikap Papa yang tak memihak padanya.
                “Ya, kenapa anak kita tak menulis nama? Itu kesalahan dia. Tak ada alasan tidak  menulis nama pada  karya yang sudah ditulis.” Suara Papa terdengar meninggi setelah mendengar penjelasan Mama alasan kenapa aku hanya juara dua.
                  Pernahkah Papa lupa sesuatu padahal itu sangat penting?” Suara Mama lebih tinggi. “Tak masalah kalau menurut penilaian juri karyanya tak layak menang.  Tapi alasan kekalahan itu yang Mama persoalkan.”
Beberapa saat mereka saling berargumen dengan suara tinggi. Mereka tak pernah seperti itu. Mungkin Papa sangat lelah. Seharian diluar rumah dan  aku baru mendengar suaranya setelah jarum jam melewati angka dua belas. Papa baru pulang.  Ingin rasanya aku keluar kamar mendamaikan mereka,  dan mengatakan aku menerima kekalahan itu karena aku lupa menulis identitas. Tapi tidak. Aku tak biasa ikut campur perbincangan orangtua.
                Masih terbayang  Mama duduk di ruang tamu sambil terus menerus mengetik di hapenya,  pagi tadi. Mukanya benar-benar kusut dan lelah. Mungkin semalam setelah masuk kamar Mama menuangkan kekesalannya dengan menulis. Papa juga kusut. Beberapa kali kudengar mereka berbicara. Kelihatannya Papa sudah memahami persoalan dan mendukung Mama. Tapi mereka tak sehangat biasa. Sekarang aku tahu apa yang diketik Mama di hapenya. Ya, mama sudah mengkritisi pelaksanaan lomba yang amburadul kemarin. Semua masukan dari juri dan ibu pendampingku pasti menjadi bahan bagi Mama untuk menulis dan mengirim ke teman-teman medianya. Mama yang selalu berlapang dada menerima kekalahan hari ini terlihat meradang. Ternyata ketika Mama meradang, aku benar-benar merasa kacau, sedih tak mengerti harus berbuat apa. Dulu aku pernah berharap Mama mengkomplain juri yang berlaku tidak adil. Tapi sekarang aku malah ingin Mama berdiam diri dan melupakan kegagalanku.
                Aku menutup opera mini setelah membaca tulisan “Cerpen Sie Reuboh Abah Juara Tapi Kalah” di hape Mama. Semua sudah jelas disana. Ketua juri yang menelpon Mama kemarin untuk memastikan judul karyaku, mengatakan di media itu kalau dia memberi nilai tertinggi  untuk karya yang tak ada identitas. Guru pendampingku menjawab wartawan yang mewancarainya, mengatakan bahwa salah seorang juri setelah pengumuman memberitahu beliau sebenarnya juara satu lomba menulis cerpen  adalah aku, tapi karena tak menulis nama maka mereka sepakat untuk tidak memilihku sebagai juara pertama.  Mama tak membahas isi berita. Tapi Mama membahas senyum dan mata sipitku  dalam foto di bawah judul berita itu. Senyum dan mata sipit yang sama yang kulihat di wajahnya.
Di layar hape Mama kulihat Anggrek Lila beberapa tangkai berjuntai indah. Anggrek yang menyeruak di sela-sela Bogenvil yang tumbuh subur di dekat kolam. Ah, kolam itu. Aku akan mengajak adik dan abangku membersihnya dari lumut. Mengganti airnya sesering mungkin. Akan kutemukan ikan sapu-sapu yang lamban diantara ikan-ikan kecil lain yang saling berkejaran. Aku berjanji akan mencari tahu nama dan jenis serta tabiat  semua bunga-bunga berwarna lila di sekitar kolam. Juga bunga-bunga lain di pekarangan rumah dan di mana pun mereka tumbuh. Sebagaimana janjiku menjadi bunga mewarnai taman hati Mama.   

Banda Aceh, 7 Juni 2011
*Sie Reuboh : daging yang direbus disiram cuka dan beberapa bumbu lainnya.

Rabu, 23 Februari 2011

MALAM LEBARAN

Cerpen D Kemalawati

                  Gerimis belum berhenti. Malam telah pekat hitamnya. Tanpa cahaya bulan ia menapakkan kakinya di atas pematang. Sesekali ia tergelincir. Dalam gelap sulit membedakan tanah liat dan rumput basah. Ketika siulan kecil mengganggu pendengarannya, ia tak berpaling. Langkahnya diayun lebih cepat .
                    Dari pematang yang luas, ia memasuki belukar setinggi ukuran badannya. Siulan itu berubah menjadi lenguh. Ia sedikit tertegun sambari memperlambat langkah.
                   “Jangan pergi Din. Kita bisa merayakan bersama-sama tanpa harus meninggalkan tempat ini.” Suara terengah sangat memohon itu mengusik pikirannya. Din berbalik, tapi tetap menjaga jarak.
                    “Tidak Sam. Jangan paksa aku tetap di sini sementara ingatanku telah di sana.”
                    “Bahaya Din, semua jalan menuju ke sana telah di jaga.”
                    “Aku tahu cara mengatasinya, kalau kau keberatan tinggal saja di sini. Jangan paksa aku melupakan malam ini dan esok pagi. Aku pasti kembali.”
Din menghela nafas.
“Esok pagi setelah mencium tangan Mak dan memohon maaf atas semua salahku, aku akan menemuimu di sini.”
                    “Tapi ini konyol, Din! Kita akan sia-sia. Tekad kita sudah bulat. Kenapa tiba-tiba kau berubah seperti ini?”
                    “Sudahlah. Lupakan semua tekad itu. Aku akan segera tiba di sana.”
                    Din kemudian berpaling, lalu melangkah cepat.
                    Sam paham betul keteguhan hati Din. Dan dia tak perlu berpikir lagi.
                    “Tunggu aku, aku akan ikut denganmu.”
                    Tanpa berkata lagi keduanya beriringan menembus rintik hujan.
                    Malam baru sepertiga merangkak menuju pagi. Suara jangkrik diantara desau angin mengiringi langkah mereka. Tanpa meninggalkan suara berisik mereka melintasi sungai kecil berbatu menuju seberang. Jalan pintas tak biasa dilalui penduduk adalah pilihan mereka. Meski terkadang jarak yang dituju menjadi lebih jauh.
                     Sayup-sayup suara takbir terdengar syahdu tertiup angin. Malam pekat dan gerimis menggiring bathin Din dalam kepungan rindu.
Serasa tubuhnya sedang berada dalam truk besar bersama teman sekampung. Sebuah beduk kecil sedang dipukul sesuai dengan irama dan teman sebaya mengalunkan takbir tak henti-henti. Takbir dan kelakar riuh rendah dalam goyangan truk ketika melewati jalan berlobang.
                     Sepanjang jalan yang dilewati truk, anak-anak kecil, remaja putra-putri dan orang tua turut bersuka. Rumah-rumah dihiasi lilin-lilin kecil berkedip-kedip dipagar kayu ditiup angin. Kadang anak-anak yang jahil melempar mercon ke arah iring-iringan truk sambil bersorak kegirangan. Mereka juga menyangkutkan kembang api di dahan-dahan pohon, diantara dedaunan untuk dibakar. Ketika percikan bunga api memancar cahaya kemilau mereka bersorak bersama.
                    Kebiasaan takbir keliling kampung dengan truk memang telah dilakoni masyarakat desa sejak lama. Setiap malam lebaran, setelah shalat isya para pemuda berkumpul di halaman masjid desa, menunggu angkutan. Suasana gembira sangat terasa. Kadang sambil dorong-dorongan mereka berebutan menaiki truk. Berbagai alat-alat musik yang ada di sekitarnya turut serta bersama mereka. Ada yang membawa beduk, kaleng bekas, sendok, dan piring ‘kenso’ alias piring kaleng. Mereka tabu tanpa aturan meningkahi suara takbir yang bergemuruh sehingga suasana menjadi sangat meriah.
                    Dari masjid desa mereka berkumpul ke pusat kecamatan. Mereka membentuk iring-iringan panjang yang dimulai oleh pemuka masyarakat, tokoh-tokoh adat yang memiliki mobil pribadi dan dinas, lalu diikuti truk-truk dari desa -desa.
                    Semua mobil dipadati penumpang dengan alunan takbir bersahut-sahutan. Acara takbiran keliling itu biasanya terakhir menjelang tengah malam. Malam yang seharusnya merupakan malam kemenangan bagi mereka yang menjalankan ibadah puasa menjadi malam penuh kenangan bagi semua warga desa.
                     Ingatan Din terkepung takbiran. Langkahnya makin panjang. Sam dengan terengah berusaha mengikutinya. Tapi dengan badan lunglai dan lutut yang gemetaran menahan lapar, ia makin jauh tertinggal.
                     “Din… tunggu aku!” Seru Sam dengan suara lirih.
                       Din tak bergeming, langkahnya makin panjang.
                      Jalan desa sudah dimasuki. Gema takbir semakin menusuk ke hulu hati, menjalar melintasi seluruh bilik jantung lalu merangkak cepat menuju pikirannya. Tak ada strategi bersemayam di sana. Allahu Akbar Allahu Akbar Walillahilham.
                       Din lupa siapa dirinya kini. Dia terus melangkah dengan kepungan rindu. Dia tidak datang mengendap-endap sambil mengawasi kiri-kanan lalu bergegas menerobos pintu belakang. Kali ini kakinya ringan saja melangkah. Telapak kaki yang dibalut kaus usang terasa hangat menopang tubuhnya. Bayangan tubuh kurus yang terbungkuk membungkus ‘timphan serikaya’, aroma 'sie reubouh' dari belanga di atas tungku kayu dan gurihnya 'leumang' di dalam buluh mempercepat langkah kakinya.
                       Seperti tiba-tiba, dia sudah berdiri di depan pintu rumahnya. Hanya sempat dua kali ia mengetuk papan rapuh itu. Pada hitungan ketiga sebuah timah panas telah menghantam tubuhnya, tepat di dadanya.
                   Ketika pintu terbuka, tubuh Din terkulai sujud di kaki ibunya.
                  Takbir bergemuruh di dada ibunda Din. Tubuh lunglai bersimbah darah dipeluknya erat-erat. Tak ada jerit panjang membawa pesan kepiluan.
                   Tubuh renta itu membelai wajah putranya. Tetes demi tetes air bening mengalir disekanya dengan ujung selendang yang melilit kepalanya. Ia sangat hati-hati menjaga agar tubuh anaknya tak tersentuh airmata.
                   Sam yang tertinggal jauh hanya mengusap dada mendengar letusan itu. lama ia tiarap membiarkan genderang hatinya bertalu di tanah basah. Gerimis menyatu dengan keringat dingin, mengigilkan tubuh kurusnya yang hampa.
                  Haruskah aku menyerah, gelisah Sam. Akankah Din rela melihat aku terkurung tanpa melakukan sesuatu. Sam menelentangkan tubuhnya ke langit malam. Gerimis telah berlalu. Tak ada cahaya menerangi tubuh Sam. Hatinya dipenuhi kegelapan. Ia terkulai di persimpangan.
                   Dulu sam pernah ingin mengakhiri hidup ketika kekasih yang sangat dicintai digagahi di depan matanya. Peristiwa yang terjadi setahun yang lalu, ketika mereka berdua baru saja berlebaran ke rumah orangtua Din. Ketika melintasi perkebunan,mereka dihadang sekelompok orang bersenjata. Lalu mereka dipaksa berjalan melintasi jalan setapak hingga sesayup mata memandang hanya barisan pohon yang menyilang dengan jurainya hanya menyisakan helai-helai cahaya terang. Sam diikat dengan tali disalah satu pohon dengan mulut disumbat kain.
                  Dengan murka ia menyaksikan Dara digilir satu persatu hingga terkulai tak berdaya. Sam tidak pernah tahu kapan Dara menghembuskan nafas terakhir. Yang ia tahu seluruh tubuh Dara membiru berlukiskan lars. Kata penduduk yang menemukan mereka ketika itu, darah tidak hanya mengucur di selangkangan Dara tapi juga di dadanya. Ada yang menghadiahkan peluru sebelum meninggalkannya begitu saja.
                  Sam menjadi pemuda patah arang. Dua tragedi besar melanda jiwanya. Rumah orangtuanya yang berdampingan dengan sekolah dasar, hangus dibakar. Ayahnya yang tergeletak karena lumpuh ikut menjadi abu. Sedangkan ibunya telah lama tiada. Dalam keputus-asaan itulah Sam dan Din bergabung.
                  Sam dan Din adalah dua sahabat yang terkepung dendam. Mereka terbuai pesan bersambung yang memanfaatkan situasi serba salah. Mereka mengetahui kalau Din bukan pemuda biasa. Dia cerdas. Dan setelah bergabung siasat yang disusunnya menjadi penentu keberhasilan kelompoknya. Din terkenal garang dalam berperang. Tapi Din selalu rindu pulang saat malam lebaran seperti malam ini.
                   Keinginan Sam untuk mengakhiri hidup, kini muncul kembali. Wajah Dara yang memelas ketika digagahi, wajah legam sang ayah dalam tidur panjang yang mengenaskan, wajah Din yang selalu rindu membasahi tubuhnya dengan air sembahyang, silih berganti hadir.
                   Takbir masih bergema memenuhi angkasa. Wajah Sam yang tengadah menemukan sinar kemilau.    Bagai kembang api berlaksa cahayanya. Sam bangkit . Dengan langkah tertatih dan hati merintih Sam kembali menyelusuri semak berlukar. Makin jauh langkahnya, belukar makin membenam tubuhnya.
                     Ia telah memilih belantara tempat merayakan hari kemenangannya.

Banda Aceh, Desember 2003


MENYULAM BAYANG PEMBUNUH ABAH

Cerpen: D Kemalawati

                    Seperti rencanaku pagi tadi, sekarang akan kulepaskan bongkahan ini. Bongkahan yang kupanggul laksana setumpuk batu gunung telah membuatku semakin bungkuk dan terpuruk. Aku tak bisa tengadah menatap langit biru, tak juga bisa menghitung bintang besar diantara banyak bintang kecil di angkasa. Ingin sekali aku menatap bulan sabit lalu melukisnya menjadi senyum dan kukirim padamu. Tapi itu tak pernah kulakukan.

                    Hari ini Nyak Ti, setelah kulepaskan bongkahan ini, Kau akan lihat betapa tegak tubuhku. Betapa lurus pandanganku. Aku pasti siap mendaki bukit bahkan gunung yang menjulang di depan sana. Dan kepadamu Nyak Ti, akan kupersembahkan Siyungyung paling indah dan paling harum yang kupetik sendiri dari puncak manapun yang kamu inginkan.

                    Tapi Nyak Ti, sebelum Siyungyung itu ada di tanganmu, aku akan membuka tabir yang selama ini selalu ingin kau sibak. Tabir yang membuat diriku dan dirimu berjarak.
   
       Inilah aku, cucu si penabuh rapa’i. Setiap malam Jumat  bersama sejumlah orang berjubah,  kakekku menabuh  rapa’i di belantara sepi hingga menjelang pagi.  Punggung pegunungan  Bukit Barisan menjadi saksi. Suara rapa’inya menderu disela diam  dedaunan. Menderas di hening riak tertahan. Tak ada yang memberitahu aku kenapa kakek melakukan semua ini. Orang-orang selalu bangga menceritakan kehebatan kakekku. Kata mereka, di belantara mana kakek menabuh rapa’i, mereka akan tahu. Sebab dari sumber suara yang menggema itu akan muncul seutas cahaya terang menyulut angkasa.

                    Abahku ketika  muda gemar bermain domino. Dengan tubuh mungilnya , ia lberpencak silat  menangkis serangan lawan seindah tarian. Setelah berkhalwat di belantara hutan, ia menjadi lebih ringan.lagi Orang-orang melihat ia berdiri di atas daun pisang yang membentang , di ujung dahan pohon yang masih tegak menjulang. Dia mampu melompati penghalang di batas pandang setelah rateb menetap di dalam badan.

                   Tapi Abahku tak bisa menghilang. Ketika puluhan pengikutnya turun kampung mengibar bendera perang. Dengan puluhan benda tajam sebagai peringatan. Judi, maksiat coba dihalang. Mereka yang menggunakan jubah putih tak dapat melangkah tenang. Di ujung jalan mereka di hadang. Lalu diberkas seperti binatang. Dan Abah pun datang menghantar badan agar negeri kembali tenang.

                 Nyak Ti, ketika kicau burung terdengar riang, langit pagi indah dihias awan. Umiku memandang tubuh merahku sendirian. Abah dalam tahanan dengan tuduhan tak dilakukan. Dia tak pernah menanam daun hiduan. Tak juga menyihir orang yang mau menempuh jalan ketauhidan. Tapi di balik bukit yang lebat dedaunan, tumbuhan itu subur membentang. Menghijau pandang dengan penanam. Tapi tarikat abahku selalu jadi sasaran, sebagai jalan sesat yang patut dibuang.

                    Akan kuceritakan tentang umiku, Nyak Ti. Perempuan berhati peri itu membesarkan aku seorang diri. Aku mendengar suaranya melantunkan ayat suci dengan indah sekali. Tetapi ketika membuaiku dalam ayunan, Umi seperti seorang penyair yang tak pernah kehabisan kata-kata. Dan kata-kata itulah yang melekat di sanubariku hingga kini.

                    Aku yakin ibumu tak pernah bersyair seperti umiku. Ibu-ibu di kota lebih cenderung membiasakan anaknya berbicara bahasa Indonesia. Dan ketika membuai anaknya paling hanya kalimat ‘nina bobo o nina bobo, kalau tidak bobo digigit nyamuk’ diulang berkali. Coba kamu simak syair dari umiku, ‘Allah hai do do da idang/ seulayang blang ka putôh talôe/beurejang rayeûk muda seûdang/tajak banthu prang ta bela nanggroé./ wahe aneûk bek tak duék le/beudôh sare ta bela bangsa/ bek ta takôt keû darah ilee/adak pih mate tamoûng syurûga Kamu pasti tak tahu artinya. Baiklah, aku tak mau meledekmu lagi. Kupikir lumrah saja meski namamu Nyak Ti, tapi kamu tak lahir dan besar disini. Aku akan terjemahkan untukmu, Allah hai do do da idang/Layang-layang sawah sudah putus tali/Cepatlah besar jadi remaja/Pergi berperang membela negeri /Wahai anak jangan duduk lagi/Bangun bersama membela bangsa/Jangan takut darah mengalir/Bila pun mati masuk syurga .

                   Ada banyak lagi syair-syairnya yang mengalir begitu saja meski aku sudah terlelap. Umiku tak pernah membaca bagaimana seharusnya prilaku ibu hamil dari majalah atau buku-buku petunjuk lainnya, sebagaimana ibu-ibu di kota mempersiapkan kelahiran anaknya. Ia hanya tahu meski aku masih dalam kandungannya, ataupun ketika aku terlelap, aku tetap mendengar apa yang dia dendangkan, aku tetap melihat apa yang dia kerjakan. Dia menjaga prilakunya, menjaga suaranya. Ia yakin dengan demikian aku akan tumbuh sebagai anak yang kuat, tegar dan dipenuhi cahaya iman.

                   Sebagai anak gunung, aku terbiasa mendaki dan turun lembah. Meski usiaku masih balita, aku pernah ikut Umi berjalan kaki turun gunung seharian lamanya menuju pusat kecamatan. Ketika harus melintasi jembatan gantung, satu-satu cara agar kami sampai ke seberang, Umi menggendongku dengan kain panjang. Di bawah sana kulihat air bening melintas deras di sela bebatuan yang muncul ke permukaan. Aku merasa sesak nafas, bukan karena takut, tapi karena kuatnya ikatan kain gendongan umi. Sebelah tangan umi memegang tali gantungan, sebelah lagi memastikan aku aman di gendongan. Kakinya terlalu hati-hati melintasi tali yang satu lagi hingga membawa tubuh kami berdua sampai ke seberang, dan aku dapat melompat kembali dengan langkah kecilku menyusuri jalan setapak.

                  Aku tak pernah bertemu Abah hingga usiaku genap lima tahun. selama Abah ditahan Umi hanya sekali menjenguknya dan tak membawaku serta. Terlalu jauh, kata Umi. Selain harus berjalan kaki seharian ke pusat kecamatan, Umi harus menunggu angkutan yang membawanya dari Ulee Jalan ke kecamatan berikutnya. Dengan dua kali pergantian bus dan melintasi lima kabupaten kota, Umi akan tiba di tahanan dua belas jam kemudian.

                 Ketika Abah kembali ke desa, kami semua bahagia. Santri-santri Abah kembali berdatangan. Suara pengajian kembali menggema. Bila malam tiba, Zikir dan dalail mengalahkan dengung binatang hutan. Dan ketika fajar mulai menyingsing, semua santri serta penduduk meninggalkan dusun menuju ladang. Nilam, kembali merambat. Padi ladang kembali tegak menyongsong butir-butirnya. Ikan keuréuling kembali menyentuh ujung pancing. Udang dan Belut sengaja masuk bubé. Dan aku bebas menangkap belalang hingga lelah menjelang.

                  Nyak Ti, masihkah kamu mendengarkan aku?

                 Lima bulan lamanya, senda gurau terdengar dimana-mana. Debat perkara tasawuf semakin merdeka. Hingga jumat itu tiba. Jumat yang membuat aku seakan gila. Aku sedang bermain di halaman rumah. Umi di tangga mengawasiku. Tiga orang santri lelaki sedang membersihkan balé-balé. Para santri selalu bergilir mengerjakannya sebelum waktu shalat Jumat tiba. Yang lain berada di bilik masing-masing dan ada pula yang sedang mandi di sungai di bawah sana.

                   Tiba-tiba aku mendengar seseorang berteriak, bertanya.

                   “Mana teungku Banta? Ayo tunjukkan wajahmu.”

                  Di hadapanku telah berdiri puluhan orang berpakaian loreng dengan muka penuh corengan. Mereka menggunakan topi baja yang ditumbuhi dedaunan. Semua menggunakan senjata. ( ketika aku dewasa, aku baru tahu senjata jenis apa yang dipanggul mereka). aku berlari ketakutan. Kupeluk ibu yang gemetar. Abah turun dari dalam rumah. Tenang.

                   “Kemari kau Teungku sialan.” Teriak yang lainnya. “Semua kumpul, berbaris. Tak ada satu pun yang boleh menjauh. Ini perintah.” Suara itu mengguntur. Kudengar suara berderak , pintu bilik disepak. Para santri yang tak seberapa berhamburan keluar.

                    “Mana Senjata kalian pemberontak jahanan, ayo tunjukkan. Jangan coba menipu kami.” Kuyakin itu pimpinan mereka. Tapi aku terlalu takut memandang wajahnya.

                    “Hana, pak Komandan, kamoé hana menyimpan senjata.” Kudengar suara Abah masih tenang.
           
                    “Bohong! kalian menanam pohon keparat itu untuk modal membeli senjata, bukan?” Serang Komandan.

                     “Nilam, sudah sejak dulu kami tanam Komandan.”

                     “Bukan nilam, bodoh! Kalian tanam di sela kopi, kalian bakar hutan untuk yang lebih banyak.”

                     “Tidak Komandan, kami hanya menanam padi ladang.”

                     “Bohong, mana HT-mu?” hardik Komandan. Lalu berpaling ke samping Abah, “ ayo kamu,” tunjuk komandan dengan senapan, tepat di wajah abang tertuaku, “ambil antene itu.” perintahnya sambil tangannya mengarah sebuah antene yang terpasang di anjungan rumah kami.

                     “Kamoé hana muphom, hana meutéupeu HT.” sungguh Abah tak mengerti, ia tak mengetahui apa itu HT.

                      Komandan merasa dipermainkan.

                      Seorang prajurit menendang Umar, abangku. Aku menjerit ketakutan, tangisku pecah. Umi merangkulku lebih kencang. Tiba-tiba prajurit lain memukuli Umar dengan popor senjata. Abah maju berusaha menghalang.

                       “Berhenti, jangan sakiti anakku…. Kami tak mengerti tuduhan kalian.”
Kulihat seseorang menarik kerah baju Abah, membawanya ke tengah-tengah. Abah berseru “ Allahu Akbar…Allahu Akbar.”

                        Dan door…. Tubuh Abah tersungkur.

                        Lalu suara letusan seperti deru hujan dibawa badai. Menderas di angkasa. Serentak semua tiarap… lalu senyap. Melihat Abah bergelimang darah, perutnya terburai hancur, Umar bangkit, maju selangkah.

                        “Apa salah Ayahku… baru lima bulan kalian kembalikan, apa yang dilakukan hingga kalian tega menghabisinya?” Suara Umar terdengar lantang.

                        “Seperti kesalahanmu, menampung pengacau liar itu dan memodali mereka membeli senjata.”

                          “Kalian salah, ini fitnah…fitnah…”

                          “Diaaam! ”Bentak Komandan.”Semua bangkit, buka pakaian kalian.”
Tak ada yang bergerak.

                         “Sekali lagi buka baju kalian, bagaimana kalian lahir telanjang, mati pun kalian telanjang.”

                         Tak ada suara. Tak ada pilihan. Dalam gemeratuk gigil ketakutan, satu persatu pembungkus lusuh badan melayang, jatuh ke tanah. Para perempuan yang hitung jari jumlahnya memaling muka. Semua pasi. Diam seribu bahasa.

                        “Baiklah, tubuh kalian tak berarti, silakan tinggalkan tempat ini.” Perintah Komandan.

                          Semua mata tertuju ke tubuh Abah yang memerah darah.

                          “Pergi!… Hardik Komandan. “Sebelum pikiranku berubah.” Lanjutnya.

                          “Ini kampung kami, kalian yang harus pergi. Pergilah, Abah sudah tak ada. Setelah shalat Juma’t nanti kami akan menguburkannya.” Terdengar suara Umar memohon.

                          “Ha ha ha… bersamamu dan lainnya, satu lubang ha ha ha…” lalu serentak mereka menarik pelatuk, berkali-kali, hingga tak ada lagi yang muntah dari lambung senapan. Bau mesiu dan amis darah menyebar kemana-mana.

                           Nyak Ti, apa yang akan kamu lakukan seandainya kamu bersamaku saat itu. Melihat abah, abang dan puluhan lainnya yang semua menyayangimu terkapar berlumuran darah. Aku meronta dari pelukan Umi, Nyak Ti. Melepaskan diri, berlari mencari tubuh Abah diantara gelimangan tubuh lainnya yang masih merintih menahan perih. Mereka sekarat Nyak Ti. Sekarat… tapi masih kudengar mereka menyebut Allah, Allahu Akbar laa ilaaha illallah…

                            “Abah bangun.” Teriakku. Beberapa prajurit serempak menarikku.

                            “Sudahlah Komandan. Abah dan abangnya serta yang lainnya sudah kalian bunuh. Biarkan anak bungsuku yang masih kecil ini hidup bersamaku.”Getir suara umi.

                           Aku memang masih hidup Nyak Ti. Hidup dalam selimut yang dipenuhi bayang orang-orang berseragam, wajah-wajah beringas dipenuhi corengan, dengan senjata siap kokang mengarah ke mukaku. Hari-hariku selanjutnya adalah menyulam bayang. Bayang pembunuh Abah dan abang. Kurenda mimpi di tengah simpul kebencian. Kujahit harapan agar kelak dendam terbalaskan.

                           Nyak Ti, kutahu kamu pasti akan terkejut mendengar semua ini. Aku yang kamu lihat sehari-hari datang ke sekolah mengenderai motor besar. Memiliki laptop tercanggih yang tak dimiliki pak Hanif, guru yang mengajari kita membuat jaringan computer. Bahkan ketika hari-hari tertentu bisa saja mengajakmu makan di restoran terbagus di kota ini, dengan mengendarai X- Trail metalik keluaran terakhir, adalah seorang anak gunung yang terkepung dendam masa lalu.

                         Aku dipungut oleh pak Manaf menjadi anaknya. Semua itu terjadi begitu saja. Beberapa malam setelah orang-orang dari kota yang terlihat sangat membela kami menguburkan kembali jasad Abah dan yang lainnya, aku mendengar suara rapa’i seperti menendang-nendang gendang telingaku. Aku tak bisa tidur. Suara itu terdengar sangat dekat. Lalu aku keluar dari bilikku, membuka pintu tanpa berisik menuju halaman. Di kejauhan aku melihat seberkas cahaya benderang. Aku berlari mencari sumber cahaya itu. Tubuhku serasa melayang hingga aku berhenti tak jauh dari kumpulan orang-orang berjubah putih, yang sedang berzikir sambil menabuh rapa’i. Aku dijemput ke tengah, diantara penabuh yang terlihat tak terpengaruh dengan kehadiranku. Seorang lelaki tua yang dari tubuhnya memancarkan cahaya membimbingku duduk di hadapannya. Aku larut dalam zikir dan syair-syair lainnya yang kemudian kuulang berkali. (syair itu yang kemudian kutahu telah membuat Abah kebal, sehingga ketika membunuh Abah, mereka menggunakan GLM, bukan timah panas dari senapan biasa).

                     Saking larutnya, aku tak tahu kalau pagi sudah menjelang. Aku mendapati diriku sendirian tertidur di tumpukan kayu bakar yang mungkin dikumpulkan para santri beberapa waktu lalu. Sinar matahari muncul di sela-sela daun yang rimbun menyilaukan mataku. Aku ingat Umi, pasti sejak subuh tadi beliau kehilangan aku. Semalam aku seperti ringan saja melangkah, dan sekarang kucoba menyusuri jalan setapak berkelok-kelok yang rasanya belum pernah kulewati. Di sanalah, disela-sela jalan yang menurun itu aku bertemu pak Manaf dan 4 orang anak buahnya terkapar. Mereka seperti baru berperang dan tersesat. Aku terperangah melihat luka mereka. Tanpa sadar tanganku kuletakkan di atas luka yang membiru dari salah seorang yang terkapar itu. Tiba-tiba dari dalam sana sebutir peluru menyembul ke permukaan. Aku mengulangnya kepada yang lain, hingga seluruhnya terkumpul delapan butir peluru. Lalu, entah dorongan dari mana, aku memetik pucuk-pucuk daun di sekitar kami, mengunyahnya lalu menyemburkan ke lubang-lubang yang mengeluarkan darah itu. Luka itu mengering. Kudengar mereka meringis bersamaan dengan kudengar suara Umi dan Po Mani berteriak-teriak memanggil namaku.

                      Nyak Ti, atas semua kejadian tak terduga itu, Pak Manaf memohon sambil bersujud di kaki Umi agar mengizinkan ia mengangkat aku sebagai anaknya. Ia berjanji akan menyekolahkan aku hingga kemana aku mau.

                       Aku memang telah jadi anaknya seperti yang kalian yakini. Lelaki yang kutemukan sekarat itu ternyata adalah seorang panglima. Panglima bagi mereka yang sedang berjuang mencari keadilan, entah juga kemerdekaan. Yang jelas sebagai panglima, ia sangat bersimpati dan mengagumi kesalehan Abah.

                       Terlalu panjang Nyak Ti, kalau aku menguraikan bagaimana aku tiba di kota ini, menyesuiakan diri dengan kehidupan keluarga Pak Manaf yang terus berpindah-pindah. Bagaimana syair Umi terus bergelora ketika kudengar kontak senjata dimana-mana. Bagaimana aku kemudian lepas dari gulungan air tsunami dan lainnya. Dan bagaimana kemudian Pak Manaf berubah posisi dari target operasi menjadi teman diskusi petinggi negeri. Serta bagaimana kita bertemu dan saling suka.

                        Aku menyukaimu Nyak Ti, sungguh aku tak bisa melupakanmu sesaat saja. Tetapi melihat foto keluarga yang menggantung di ruang tamu rumahmu, melihat ayahmu berseragam hijau dengan bintang di dada, memandang wajahnya lama-lama, aku seperti membuka peti yang menyimpan sulaman bayang itu. Bayang pembunuh Abah dan abangku. Jarum rajutku kembali merenda benci. Dan selama berteman denganmu, sebenarnya aku sedang menjahit dendam, membunuh ayahmu.

Banda Aceh, 20 Juni 2010

Catatan:
Siyungyung : Anggrek hutan yang indah dan harum.
Rapa’i : Gendang yang digunakan mengiringi para pedebus.
Rateb : Ratib
Ikan Keuréuling : Ikan yang sisiknya bisa digoreng seperti kerupuk, hidup di aliran sungai yan g berbatu.
Bubé : Alat tangkap ikan dari bambu
Balé-balé : Balai yang digunakan sebagai tempat pengajian sekaligus tempat shalat berjamaah
Hana muphom : Tidak mengerti
Hana meutepeu : Tidak mengetahui
Kamoé : Kami


SERONG

Cerpen D Kemalawati

“Dah Jumatan?”

kata-kata itu terpampang di layar monitor laptopku. Tak tahu kenapa begitu melihat namanya ada di daftar teman yang online jemariku langsung bergerak, menarikan tuts-tuts keybort hingga tertera kalimat singkat itu. Tak menunggu lama mataku sudah melihat deretan huruf muncul di bawahnya.

“Sudah dong, ni masih berdegup .. isi khotbahnya.”

Aku langsung ingat puisi yang baru beberapa jam lalu ia tag untukku dan seorang teman lainnya.

“Duh… ikut berdegup juga nih… iri deh sama puisi-puisimu yang membuat degup jantungku ketika membacanya…”

Kuingat petikan baris ketiganya: /Cericit burung adalah kumandang azan /bersahutan. Jauh melayang menembus awan/ tak pernah jatuh gemanya/ kecuali terus ngalir di urat nadi/ rasakan degup-nya/bulan dan bintang/ terlukis di dinding hatinya.

“Ya tulisan sederhana, sekadar tegur sapa, selain doa-doa tentunya… Kemarin Pak Harun nelpon katanya ngundangku ngajar di kampusnya”

Dia mengalihkan pembicaraan, kebiasaannya bila aku komentari puisi-puisinya.

“waow.. surprais.. kabar bagus. Aku sering ceritain dirimu pada suamiku, suatu hari kami pasti akan menjadi tuan rumah untukmu.”

Seperti tak mengubris kegembiraanku, ia melanjutkan.

“Kuceritakan pada Harun bahwa kita sering tegur sapa, tapi beliau buru-buru mengingatkanku “hati-hati, istri orang” dan aku pun tertawa renyah, sebab ingatannya tak relevan dengan aku ha ha ha…”

“ Ya.. ya.. aku ingat bahwa diriku istri orang ketika bertegur sapa dengan orang lain, ah, masih ada diantara kita yang dilumuri prasangka..”

Ingatanku terbang pada sosok Harun, lelaki santun yang sangat mencintai keluarganya. Kelebat apa yang muncul di pikirannya saat dia mengatakan kata “hati-hati, istri orang” kepada teman dosenya itu. Curigakah ia.

Belum sempat aku berpikir jauh di layar monitorku muncul lagi baris-baris kalimat.

“Aku cuma cerita tentang pak Harun, jujur, aku selalu takut berkomunikasi dengan sahabat…”

Ops.. aku kaget, kata-kata itu membuat aku terbelenggu.

“Aku menganggap dirimu suhuku. Tak pada tempatnya aku memiliki “ perasaan lain”, sementara aku memiliki keluarga yang sangat menghormatiku. Tapi aku harus jujur mengatakan padamu bahwa kepedulianmu terhadap tulisanku membuat semangat menulisku bertambah. Apa itu salah, dan membuat aku harus mengikat diriku untuk tak bertegur sapa denganmu? Kalau itu terjadi, naïf benar diriku, mas.”

Ya, seperti baru mendapatkan pisau tajam memotong tali temali yang mengikat tubuhku, kata-kata itu lepas menyeruak begitu saja.

“Oke, baik, kita larungkan semua wasangka, memang komunikasi tulis itu tak mudah, soal paham dan tak paham terus akan bermunculan. Kita cuci dada kita hanya semata silaturrahmi dan saling tegur sapa sahaja.”

Benar, salah paham terlalu mudah terjadi maka larungkan wasangka itu. Aku berguman sendiri. Tapi ada yang belum tuntas saat aku mencuci hati. Kerikil-kerikil halus masih melekat tak mau hilang. Lalu jemariku menari lagi, huruf-huruf memintal kata menjadi kalimat-kalimat muncul lagi di layar putih persegi. Layar kecil yang dilatari baris-baris puisinya.

“Mungkin Harun tak kenal betul dengan diriku, meski kami sudah bergaul lama. Alhamdulillah, suamiku paham sekali sepak terjangku dan tak pernah melarangku berteman dengan siapa saja. Sebelum aktif di efbe, hapeku sering berdering dini hari bahkan saat-saat sebelum subuh. Sms-sms yang berisi puisi masuk dari beberapa teman penyair, ya, kadang memang kalau tak hati-hati bisa saja aku salah tafsir dengan puisi-puisi yang dikirimkan, maaf seperti puisimu yang membuatku berdegup. Jelas ketika sampai pada suatu titik aku pun memahami betapa releginya mereka, seperti dirimu juga yang membuat aku iri. Mas, beberapa puisimu yang aku suka sering aku share dengannya. Jadi tak ada peraturan bahwa aku istri orang saat aku membaca dan berkarya. Dia tahu aku telah jadi dan public mengenalku…”

“Ya, sekarang aku sedang menulis, sesuatu yang terus terang terinspirasi dari komunikasi kita lewat efbe. Menurut catatanku, kita sudah dua kali salah paham. Jadi tolong koreksi setelah membaca puisi yang nanti aku kirimkan, ya, semacam penafsiran tentang budaya Aceh yang sungguh sama sekali tak kupahami..”

Aku tersentak. Sudah dua kali salah paham? Kurasa aku harus mempertanyakan “salah paham- salah paham ” yang dimaksudkannya. Tapi tanda bulat hijau di sisi kanan bawah kotak obrolan terlanjur pudar. Aku tahu dia telah berlalu.

Meski aku kecewa, kucoba pahami baris-baris puisi yang kembali menghiasi layar monitorku.

Rencong, bentukmu memang bengkok
tapi sama sekali tak ada makna serong
……………………………………..
(Dimas Arika Miharja)



Banda Aceh, 19 Februari 2010

LELAKI JELAGA

Cerpen D Kemalawati

“ Apa yang kau cari Dahaga,” ucapnya dalam lepuh duka lara.
“ Sesuatu  yang tak mungkin kuceritakan padamu, Telaga.”
Tak ada tatapan mata yang bisa diterka. Gesekan sol sepatu tua dengan pasir bercampur kerikil menandakan tubuh lunglai itu sudah  menjauh. Dahaga mengharungi padang  riuh penuh badai. Memanggul bungkusan  perih di pundaknya.
“ Beri kesempatan bagiku untuk mengetahuinya, setidaknya untuk kali ini saja.” Telaga memburu menanggalkan rona merah jambu di pipinya.
“ Sudah tak ada waktu, aku harus pergi. “ Dahaga kukuh. Tak menahan langkah  apalagi berbalik arah.
“ Tapi Dahaga, sekian lama kau nyata dalam diriku, tenang dalam panjang waktu. Benar kau sering mengeluh tak berdaya, tapi bagiku dirimu perkasa .”
“Jangan halangi aku Telaga. Aku telah menjadi parasit dalam nafasmu. Lihat betapa pasi wajahmu, melebihi warna bulan menjelang pagi.”
“Aku tak perduli, selama hangat dadamu masih kurasa, kau tak perlu pergi, Dahaga.” Tak ada lagi jawaban. Suara gesekan daun bambu dihembus angin tak lagi menjadi simfoni indah bagi Telaga. Langkah berat menjauh semakin samar terdengar. Pada akhirnya Telaga hanya melihat kegelapan dan kegelapan.  Dahaga hilang ditelan  pekat malam.

Dahaga benar-benar pergi. Sehari, dua hari, seminggu, berminggu-minggu Telaga mengharap ketukan pintu dan ketika membukanya, dia telah siap merebahkan sintal tubuhnya dalam pelukan  Dahaga. Hingga suatu ketika pintu rumah Telaga benar-benar diketuk dari luar. Mereka mencari Dahaga.
“ Tak ada Dahaga… tak ada dahaga… aku menunggunya sekian lama…Dahaga tak pernah kembali”
Telaga meraung, menjerit, melolong, histeris.
“ Yang kamu tunggu sekarang sudah datang, kami lebih dahaga darinya. Kau adalah Telaga yang indah… kami haus… ha ha ha… haus sekali…ha ha ha…”
“ Jangan, jangan mendekat… Dahagaku, tolong.. “
“ Berteriaklah Telaga… teriaaakkk…ayooo… tak ada yang akan menolongmu. Kenapa tak kau ingatkan Dahagamu untuk tak mengganggu kami, tak menyerang markas kami..” Bentak seseorang sambil mencengkram kuat lengannya. Dia mungkin ketua gerombolan. Entah, Telaga tak mau tahu siapa dia. Dengan memakai sebu, lelaki kasar itu sudah jelas tak ingin dikenali.
“Dahagaku tak mungkin memanggul senjata, apa lagi menyerang kalian.” Ketus Telaga. Tak ada ketakutan terpancar di wajahnya meski seluruh anggota gerombolan itu sudah mengelilinginya. Bersiap-siap menerkam tubuhnya.   Seperti Mak, ia juga akan mempertahankan diri sampai tetes darah terakhir.
“ Tidak mungkin katamu? Dia panglima… panglima sagoe yang sangat berpengaruh di kawasan ini, apa kamu tak tahu apa yang dilakukan selama ini… “
Apa yang dilakukan Dahaga selama ini. Dahaga rela meninggalkan Telaga dan calon bayinya untuk melakukan penyerangan. Benarkah?
Tak ada yang lebih benar kecuali apa yang sedang dirasakan Telaga.    
 Ya, orang-orang sedang kehausan  itu  mereguk air telaga dengan rakus. Telaga kering  sekering keringnya. Lalu orang-orang yang telah kekenyangan itu memuntahkan peluru ke tubuh Telaga.
Telaga berselimut merah darah seperti kapas melayang  menuju rawa-rawa setelah di ayun-ayun  dari reo yang meraung-raung dini hari. Di tengah rawa yang luas itu, Telaga tak sendiri. Dia dapat merasakan langkah-langkah mendekat. Tapi sesaat kemudian terdengar suara mendehem yang agak keras. Langkah yang telah mendekat seketika berhenti.
          “ Jangan mendekat… aku kenal  siapa dia. Ya, dia Telaga, masih sangat muda. Dan yang lebih penting adalah anak dalam kandungannya masih bernafas. Aku butuh anak itu.”
Telaga mendengar beberapa langkah kaki menjauh. Lalu seseorang bertubuh besar dan kekar dengan kulit seperti jelaga mendekatinya. Lelaki itu seperti memiliki taring tanpa wajah yang jelas. Dengan sekali sentak tubuh Telaga terjungkal. Tak ada rasa sakit yang dirasakan kecuali jeritan dalam rahimnya yang membuatnya tersadar. Ia akan jadi ibu.
Seperti apa yang dilakukan ibunya dahulu, Telaga juga ingin melindungi anaknya. Tapi dia sudah menjadi angin. Tak teraba.
“ Telaga, aku akan membantumu mengeluarkan  bayi ini dari rahimmu. Aku bisa melakukannya.”
“Tapi siapa  kamu, aku tak melihat kau seperti mantri apalagi  dokter…”
“Memang aku bukan mantri apalagi dokter. Tapi untuk persoalan kecil yang kamu hadapi ini,  Serahkan padaku saja, semuanya pasti beres”
Seperti ketika Dahaga pergi, tak ada pilihan lain bagi Telaga. Dia membiarkan lelaki jelaga menolongnya. Telaga memejamkan matanya dan  seketika saja ia sudah memiliki sayap. Dengan ringan  meninggalkan rawa-rawa itu, menerbangkan semua perih, dan seperti awan yang tak teraba ia sirna.
 Sesaat ia sadarkan diri lelaki jelaga dan bayinya  itu sudah tak ada.
                                                *****
“ Aku mencarinya, mencari anakku yang dilarikan lelaki jelaga.”Telaga  memulai lagi ceritanya. Ketika itu matahari hari itu terang benderang. Ia berbicara tanpa melihat Feby. Di ruang 5 yang lengang itu mereka hanya berdua. Melalui jendela kaca yang terbuka, angin kerontang mengelus-elus rambut Telaga. Seperti pertemuan sebelumnya, Telaga juga tak mengenakan kerudung. Dia biarkan rambut hitam panjangnya terurai leluasa.
“Lelaki Jelaga itu mulanya menghindar ketika kutanyakan tentang bayiku, berbagai alasan dia kemukakan sambil merayu diriku agar mau mengabdi padanya. Para penghuni tempat ini semua takut dan akibat ketakutannya pada lelaki jelaga itu mereka seakan patuh pada apa saja yang diperintahnya. Tidak hal nya denganku Feby, aku akan menceritakan semuanya padamu, kamu temanku, hanya kamu yang dapat merasakan kehadiranku, dan kamu juga yang dapat melihat wujudku.”
Feby, remaja kelas dua sekolah menengah yang baru menempati gedung sekolah baru itu memandang wajah teman barunya itu dengan perasaan haru. Dia senang bisa memberi perhatian pada Telaga. Mendengar semua ceritanya dan berusaha mengajak Telaga untuk menerima semua keperihan yang dialaminya dengan kepasrahan seorang mahluk ciptaanNya. Dan Feby sudah berikrar untuk selalu menemani Telaga, setiap hari bila dia sekolah, ketika teman-temannya sedang ke musalla sekolah menunaikan shalat zuhur.
Tapi tak tahu kenapa, tiba-tiba Feby merasakan mereka tak hanya berdua di ruang lengang itu. Ada suara langkah berat dan kasar  mendekat. Sesosok tubuh besar berwarna jelaga sudah berdiri di hadapannya. Telaga bergegas bergerak, berdiri di antara Feby dan lelaki Jelaga itu.
“ Jangan ganggu temanku.” Suara Telaga terdengar gusar.
“Tidak hanya temanmu ini, semua teman perempuannya akan aku pengaruhi bila kamu masih tetap berteman dan menceritakan semua keadaan kita disini padanya. Aku tak mau pindah dari sini. Dengar perempuan bodoh… bangunan sekolah yang ini memang telah mengganggu kehidupan kita dan selama ini aku diam. Tapi sekarang setelah kau mulai berani menampakkan diri pada sahabat tololmu ini, maka aku akan bertindak.”
Feby melihat kegusaran lelaki jelaga dan kepanikan Telaga. Rasa sayangnya pada Telaga membuat dia lemah. Dari ujung kakinya menyusup mahluk halus menggelitik jiwanya mengajaknya menangis. Tangan dan kakinya terasa kaku dan dia tak bisa menahan semua gerak tubuhnya yang meronta-ronta. Feby marah melihat lelaki jelaga menjambak Telaga. Dia merangkul Telaga dengan sekuat tenaga dan mencoba menendang-nendang lelaki jelaga.
Penghuni rawa yang melihat bagaimana Feby menantang lelaki jelaga mulai bergerak. Satu persatu teman Feby di datanginya. Dan sekejap saja seluruh bangunan gedung megah itu terdengar suara riuh rendah, jeritan histeris dari gadis-gadis berseragam abu-abu putih  terdengar dimana-mana. 
 Jangan coba-caba dengan kami penghuni rawa ini, seringai lelaki Jelaga di singgasananya.

Banda Aceh, 6 Maret 2010